Daftar Blog Saya

Minggu, 13 November 2011

giring2 perak 4


Episode 4
Pemuda Misterius bergiring giring

Semula orang menoleh lagi ke batu itu. Dan semua mereka jadi terkesima. Di batu itu, berdiri kembali anak muda berpakaian putih dan bergiring giring perak tadi!
"Mengapa kalian menyebar bencana di sini?" tanyanya dengan suara berbegu pelan.
Gampo Bumi tak dapat menahan berangnya. Meskipun tadi dia melihat kehebatan anak muda ini, tapi sudah puluhan tahun mereka berkuasa di bukit ini tanpa ada yang berani mengganggu kedaulatan mereka. Kini ada saja anak bau bawang yang berani menyuruh berhenti dan memerintah yang tidak-tidak. Bukankah ini suatu yang memalukan dan tak bisa dipediarkan terus?
"Hei beruk! Jangan waang terlalu banyak bicara. Waang sangka waang jagoan dengan mengelakkan tombak-tombak tadi?" Sehabis berkata begini dia menoleh pada anak buahnya.
"Tangkap monyet itu. Bawa dia ke mari. Saya akan menyunatnya habis-habisan!"


Belum perintahnya habis, empat orang anak buahnya yang bertubuh besar bersenjatakan keris dan golok dengan sorak sorai berlompatan memburu ke atas batu tersebut.

Tapi begitu mereka sampai di atas, terdengar anak muda itu membentak:
"Mundur!" Aneh, keempat penyamun itu seperti didorong tenaga raksasa. Mereka terpental ke belakang bergulingan.
"Kenapa kalian harus saling bunuh di sini?" kembali pertanyaan itu dia ucapkan. Dan kali ini Gampo Bumi menjawab dengan sengit;
"Ini kerajaan kami buyung. Bukit ini dinamai orang Tambun Tulang. Karena kami menyembelih mereka di sini. Nah, kalau waang masih ingin selamat, cepatlah tinggalkan tempat ini!"

Gampo Bumi sebenarnya tidak menggertak. Dia ingin anak muda itu pergi cepat. Sebab melihat makan tangan anak muda ini barusan, hatinya jadi ciut juga. Kalau anak muda ini turun tangan membantu Datuk Sipasan, maka ada harapan mangsa mereka ini bisa lolos.

Tapi anak muda itu tetap tegak di sana. Muka-nya yang tenang menatap semua orang. Dan dia melihat beberapa lelaki terkapar mandi darah tak bergerak.Mati!

'Teman bapak kah orang-orang yang mati itu?" tanyanya pada Datuk Sipasan yang masih terduduk dengan mulut berdarah.
Datuk Sipasan cepat mengangguk "Kenapa kalian berbunuhan di sini?"
"Mereka merampok kami..."
Sinar tajam membersit dari tatapan anak muda berbaju putih yang terbuat dari satin itu. Kembali matanya menatapi seluruh rombongan. Melihat beberapa perempuan. Semua mereka juga menatap padanya.

"Perempuan-perempuan itu, apakah juga rombongan bapak?"
Kembali Datuk Sipasan mengangguk.
Dan kini, tatapan mata anak muda itu menyapu Gampo Bumi. Kemudian kembali menatap Datuk Sipasan.
"Akan ke mana bapak bersama seluruh rombongan ini pergi?"
"Kami akan ke luhak Tanah Datar. Mungkin juga ke Luhak Agam..."
"Nah, sekarang berangkatlah selagi hari masih siang..."

Datuk Sipasan menatapnya. Dia ingin tegak, tapi tulang rusuk dan tangannya patah. Kini dia muntah darah, bagaimana dia akan berangkat? Datuk ini menguatkan hati, dia bangkit, lalu meng-hadap pada teman-temannya.
"Kuburkan mayat teman-teman. Dan bersiaplah untuk berangkat..."
"Tunggu!"
Yang berseru ini adalah Gampo Bumi. Semua menatapnya. Termasuk juga anak muda itu.

"Hei buyung berbaju putih dan bergiring-giring perak, dengarlah! Ini daerah kekuasaan kami, siapapun yang lewat di sini, harus membayar upeti pada kami. Jika upeti tidak dibayar, nyawa dan hartanya kami ambil. Begitu dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, turun temurun sampai kini"
"Dan itu hanya boleh sampai hari ini". Anak muda itu memotong cepat.
"Siapa yang membuat aturan itu?"
"Saya!"

Gampo Bumi meludah. Kemudian tertawa terbahak. Belasan anak buahnya juga ikut tertawa.
"Kalau saya tak sayang pada tubuh waang yang kerempeng itu buyung, maka waang sudah saya buat jadi sup. Bagaimana waang berhayal bisa memerintah orang-orang di Bukit Tambun Tulang? He, bagaimana? Apakah waang tersapa atau mimpi?"

Anak muda itu tak mengacuhkannya. Dia menghadap dan bicara pada rombongan Datuk Sipasan.
"Kuburkanlah teman-teman bapak. Kemudian berangkatlah!"
"Hei monyet, waang dengar ucapanku atau tidak? Waang harus enyah segera dari sini!" Bentakan Gampo Bumi yang mengguntur itu membuat rombongan Datuk Sipasan jadi kecut. Namun anak muda itu kini melangkah menuruni batu besar itu. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi pada giring-giring perak di kaki kanannya.

"Sekali lagi kau bicara seperti itu kutanggalkan gigimu..." Anak muda itu bicara perlahan Namun suaranya yang berbegu itu didengar dengan jelas oleh semua orang.
Bukan main berangnya Gampo Bumi. Seumur hidup, belum pernah ada orang atau setan sekalipun yang berani menghinanya seperti ini. Di depan anak buahnya pula. O, muka pimpinan penyamun ini jadi merah padam dan membengkak seperti orang mau berak. Giginya berbunyi. Jahannam ini tak boleh dibiarkan hidup. Jelas dia telah mencorengkan taik dikeningku, bisik hatinya.
Dia membaca ajian yang pernah dia pelajari, kemudian didahului oleh sumpah serapahnya, dia maju membuka serangan sambil menyumpah.

"Beruk besar...ku..."
Ucapannya belum habis ketika sebuah bayangan putih berkelebat. Dan saat berikutnya, Gampo Bumi terpekik. Anak muda itu sudah pindah tempat. Tak seorangpun yang melihat bagaimana dia bergerak. Gampo Bumi menunduk sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ketika tangannya dia renggangkan, di telapak tangannya berkumpul empat buah gigi depannya !

"Kepung dan mampuskan beruk itu!" suara dan perintah Gampo Bumi mengguntur. Anak buah nya mengepung anak muda berbaju putih dan I bergiring-giring perak itu.
Dengan tombak teracung dan pedang siap di tangan, mereka mengurung anak muda itu di tengah. Lingkaran yang mereka buat makin dikecil-kan setiap kali mereka melangkah maju. Anak muda itu masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikitpun!

"Hei beruk, beri tahu siapa nama waang, siapa guru waang, agar kami bisa mengirim telinga waang pulang atau mengirimkannya ke guru waang yang celaka...."
Ucapan ini terhenti lagi ketika tiba-tiba bayangan putih melesat ke arahnya dengan kecepatan kilat. Saat berikutnya tubuhnya melayang, dan kini dia berada di tengah lingkaran yang dibuat anak buahnya bersama anak muda itu.
Benar-benar merinding bulu tengkuk Gampo Bumi. Dia sedang bicara tadi, jaraknya dengan anak muda itu ada enam depa. Anak muda itu berada di tengah kepungan anak buahnya. Tahu-tahu dia merasakan tubuhnya diteteng tanpa dapat melawan sedikitpun.

Ketika sama-sama tertegak dalam lingkaran itu. Gampo Bumi mencabut keris di pinggangnya. Selama ini amat jarang dia mencabut keris. Hanya melawan orang-orang tangguh saja dia mempergu-nakannya. Tapi kali ini, dengan bulu tengkuk berjingkrat karena ngeri, dia mencabut senjatanya itu. Keris itu berlekuk lima berwarna merah. Dan tanpa banyak pikir dia menikamkan keris tersebut pada anak muda yang tegak di kirinya.
Anak muda itu mengelak sedikit, saat berikutnya tangannya bergerak, dan terdengar suara ber-derak dan lolongan Gampo Bumi ketika tangannya di sentuh oleh jari tangan anak muda itu. Lengan-nyalah yang berderak itu. Patah! Melihat ini, anak buahnya bukannya jadi takut.

Malah dengan sebuah bentakan mereka mulai berlari mengitari anak muda itu.

Mereka berlari membuat lingkaran. Pada saat-saat tertentu, dua orang dan arah yang berlawanan menyerang ke tengah. Yang satu menusuk dengan tombak, yang satu membabat dengan golok. Inilah apik rotan. Suatu kepungan yang ditakuti kaum pesilat di Minang saat itu. Lawan akan terkurung dan jadi pening dikitari sambil berlari itu.


Jika lawan berniat menangkis serangan orang yang berdua itu, maka dua orang lainnya segera muncul menyerang pula, dan yang menyerang pertama tadi masuk lagi kelingkaran sambil berlari mengikuti lingkaran tersebut. Biasanya pesilat-pesilat yang berkurung di tengah tak sampai ber-tahan empat jurus. Tapi kali ini anak muda itu tak perduli. Dia memegang lengan Gampo Bumi, kemudian tanpa bicara melemparkannya ke arah lingkaran yang mengepungnya! Gampo Bumi ter-pekik. Barisan yang melingkar itu sendiri jadi kacau balau. Mereka tak mau menlanjutkan serangan, Sebab bisa mencelakakan pimpinan mereka. Gampo Bumi tercampak di tanah yang berkerikil.

Semua jadi terhenti. Dan memandang anak muda itu dengan wajah pucat. Melihat kejadian ini, rombongan Datuk Sipasan yang tadi kecut karena kekurangan jumlah orang dan kekurangan kepandaian, kini terbit lagi semangatnya.
Kini mereka mengambil lagi pedang dan keris, dengan bersorak mereka mengejar penyamun-pe-nyamun itu. Mereka berteriak membalaskan dendam teman-teman mereka yang telah mati barusan.
Beberapa orang di antara penyamun itu kembali mengadakan perlawanan. Tapi perhatian mereka terpecah pada anak muda bergiring-giring perak itu. Mereka merasa anak muda itu akan ikut nyerang. Ini membuat perhatian mereka tidak tertuju pada serangan. Dalam waktu singkat, beberapa orang terpekik mandi darah.
Rombongan Datuk Sipasan makin bersemangat. Akhirnya dua orang penyamun menghambur ke dalam semak belukar. Dan lenyap melarikan diri. Tindakan ini diikuti oleh beberapa orang lainnya. Akhirnya Gampo Bumi sendiri ikut ambil langkah seribu. Meninggalkan sebelas anak buahnya yang telah jadi mayat.

"Awas waang buyung. Kali ini kami kalah, tapi akan datang saatnya nanti, guru kami Harimau Tambun Tulang akan mengupakkan seluruh tulang belulang waang. Dan itu pasti takkan lama. Waang akan kami buru, meski ke ujung dunia se-kalipun!"
Ucapan ini dilontarkan oleh Gampo Bumi begitu dia akan meloncat melarikan diri ke dalam palunan belukar di kaki Bukit Tambun Tulang itu

giring2 perak 3

Episode3
Gampo bumi
Datuk Sipasan arif, nyawanya sudah tak tertolong lagi. Begitu kerisnya tercampak dan lengan nya patah kena tendang lelaki tangguh itu dia berkata :
"Sungguh luar biasa. Patutlah tak seorangpun yang selamat melalui Bukit ini. Apakah saya sedang berhadapan dengan Harimau Tambun Tulang yang tersohor itu?"
Lelaki tangguh di depannya itu tak menyahut. Hanya tawanya terdengar bergema. Suara tawanya keluar dari hidung. Tawa yang mencemeeh.
"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Untuk menghadapi beruk seperti kalian, guru tak perlu turun tangan. Cukup dengan kami saja!"
Alangkah terkejutnya Datuk Sipasan. Dia yang demikian ilmu silatnya, sudah jarang tandingannya di Pariaman. Sudah masuk hitungan Guru Silat yang disegani lawan dan kawan. Kini, berhadapan dengan lelaki ini saja dia tak dapat berkutik sedikitpun. Dia seperti kanak-kanak saja. Dan ternyata lelaki tangguh itu bukan orang yang bernama Harimau Tambun Tulang. Bukan lelaki yang dita-kuti dan tersohor kepandaiannya sebagai pemimpin Penyamun di Bukit ini. Yang dia hadapi hanyalah murid lelaki itu. Murid Harimau Tambun Tulang.
Kalau muridnya saja sudah demikian tangguhnya bayangkan betapa tingginya kepandaian, Harimau Tambun Tulang itu! Dan hari ini, ternyata dugaan pertamalah yang benar. Yaitu: Datuk Sipasan menemui masa akhirnya.

"Sudahi nyawanya!" Lelaki itu berkata pada seorang lelaki besar di sisinya. Lelaki itu mengambil tombak. Si pimpinan penyamun itu berseru.
"Hentikan perkelahian!. Kalian beruk-beruk yang datang dari Pariaman, menyerahlah.Lihat pimpinan kalian ini saya sudahi nyawanya!"
Suaranya yang menggelegar itu memang menyebabkan perkelahian yang sedang berlangsung jadi terhenti. Rombongan Datuk Sipasan yang masih berkelahi sebanyak delapan orang menghentikan perkelahiannya. Mereka melihat kedepan.
Dan di depan sana, Datuk Sipasan dengan tangan terkulai nampak tegak dengan kaki terbuka. Di depannya, dalam jarak lima depa, berdiri lelaki yang tadi mengalahkannya. Dan di samping lelaki itu berdiri lelaki lain yang memegang tombak.
Datuk Sipasan tahu, nyawanya tak tertolong. Namun dia tak mau mati sebagai pengecut. Dia tegak dengan dada busung dan pandangan menatap lurus pada pimpinan penyamun itu. Kalaupun tombak itu datang menghunjam dadanya, dia ingin menerimanya tanpa mengeluh. Tanpa berkedip!

Pimpinan penyamun Bukit Tambun Tulang itu memberi tanda. Lelaki di sampingnya mengangkat tombak.
Namun gerakannya terhenti tatkala terdengar suara perlahan.

"Hmm.... alangkah aniayanya. Merampok harta, menyamun nyawa, menistai wanita....".

Suara ini perlahan saja. Tapi bergema di kaki bukit itu. Semua orang menoleh. Dan semua orang yang tertegak tegang itu melihat bahwa di depan sana, di mana pimpinan penyamun itu mula-mula tegak tadi: di atas sebuah batu yang ketinggian, duduk seorang lelaki.
Pimpinan penyamun itu sendiri hampir tak mempercayai matanya. Dia perhatikan lelaki yang duduk di batu itu. Lelaki itu menunduk dan menyamping pada pereka.

"Hei beruk, waang yang bicara sebentar ini?" Pimpinan penyamun itu membentak.
Kembali terdengar suara tawa perlahan, Lelaki itu menoleh. Dan semua orang melihat, yang duduk itu adalah seorang anak muda. Barangkali baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Berbaju putih bercelana putih. Ikat kepalanya juga putih. Hanya sebentar anak muda itu menoleh, kemudian dia menunduk lagi.
Dan kembali terdengar suaranya perlahan:
"Beruk memang tinggal di hutan. Saya dengar, di bukit ini memang banyak beruk tinggal. Hanya yang saya tak tahu selama ini adalah beruk yang berjenggot, berkumis dan pandai bicara...."

Bukan main berangnya pimpinan penyamun itu. Dan dia tahu, dialah yang dikatakan anak muda itu beruk!.
Mulut lelaki besar ini bergerak seperti akan memaki, menyumpah. Namun tak satupun ucapan-nya yang keluar. Hanya bibirnya saja yang komat kamit tak menentu.

Dan saat itu, di antara tawanya yang bergumam lemah, terdengar lagi suara anak muda yang berpakaian serba putih itu.
"Hehh, lihatlah lawaknya monyet itu. Mulut nya bergerak seperti manusia. Tapi dia tak bisa bicara... heh...he..." ,
Mata lelaki besar itu jadi mendelik.

"Cincang dia!" desisnya pada lelaki yang tadi siap menghantam Datuk Sipasan dengan tombak-nya. Lelaki itu mengerti, dan dia segera membidik anak muda di atas batu itu dengan tombaknya. Jarak antara mereka sekitar sepuluh tombak. Dalam jarak begitu, bagi pelempar tombak yang lihai sasaran menjadi empuk sekali. Apalagi anakmu da tersebut duduk di sebuah batu yang ketinggian.
Anak muda itu bukannya tak tahu bahwa dia bakal jadi sasaran tombak. Namun dengan bibir yang masih tetap tersenyum lemah, dia menunduk. Duduknya tetap menyamping pada semua orang yang baru saja berhenti bertempur itu. Lambat-lambat tangannya meraba pinggang. Dan saat itu tombak di tangan penyamun di bawah sana lepas dan melesat dalam kecepatan kilat ke arahnya.
Anak muda itu tak menoleh sedikitpun. Di tangannya yang tadi bergerak kepinggang kini terpegang sebuah Bansi. Yaitu semacam suling , dari bambu. Ketika tombak itu mendesis ke tempatnya, dia melekatkan bansi tersebut ke bibir. Letika lengkingan bansi itu bergema, saat itu pula tombak tadi berkelebat tak samai sejari di bela-kangnya.
Meleset!
Penyamun yang melemparkan tombak itu terheran-heran. Lemparannya tak pernah luput. Tapi kali ini kenapa anak muda itu tak kena? Suara bansi yang ditiup anak muda itu terdengar bergema perlahan. Bukan main! Dia seperti tak acuh akan nyawanya!

Penyamun tadi merampas tombak sebuah lagi dari temannya. Kemudian kembali melemparkan-nya dengan bidikan yang cermat. Namun semua penyamun yang belasan orang jumlahnya itu kembali ternganga. Tombak itu lewat dalam kecepatan kilat dua jari dari tengkuk anak muda itu. Dia sendiri tak bergerak sedikitpun. Kepalanya masih tunduk dan suara bansinya mendayu lembut dan lemah.
"Sikat dia!" Suara pimpinan penyamun itu mengguntur. Enam orang pemegang tombak segera berlarian ke depan. Dan dalam jarak lima depa dari anak muda itu mereka tegak berbaris. Datuk Sipasan yang sejak tadi tertegak heran menyaksikan kejadian itu, kali ini tak sampai hati melihat anak muda itu jadi tusukan tombak.
"Larilah anak muda!!" Serunya. Namun anak muda itu tak bergerak. Dia tetap meniup bansinya perlahan. Tak menoleh sedikitpun ke samping, di mana penyamun-penyamun itu siap melempar kan tombaknya. Dan suara tombak itu bersuitan.
Namun kali ini semua mereka yang ada di bukit Tambun Tulang itu pada ternganga. Tombak-tombak itu tak satupun yang menyentuh kulit anak muda tersebut. Tak satupun! Keenam tombak itu melenceng ke kiri, ke kanan atau ke atas kepalanya. Kemudian perlahan menoleh pada mereka.

Tatapan matanya lembut. - Dia lebih mirip seorang seniman. Tubuhnya semampai dengan kulit halus. Rambutnya yang berombak tergerai sedikit di atas bahu meskipun kepalanya diikat selembar kain putih seperti selendang.
Saat itu pimpinan penyamun yang tadi tegak di atas batu di mana dia kini tegak, maju meraih dua batang tombak dari anak buahnya. Dia melangkah empat depa ke depan. Kemudian dengan suara parau bicara :
"Kau boleh berlagak di rumahmu buyung. Tapi di depanku, di depan Gampo Bumi, kau jangan banyak lagak...."
Begitu ucapannya habis, begitu orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Gampo Bumi ini melemparkan kedua tombak di tangannya sekaligus pada anak muda itu.
Lemparannya menimbulkan suara mendengung saking kuat dan cepatnya. Siapapun yang hadir di sana maklum, bahwa dengung suara tombak yang melaju itu disebabkan tenaga dalam Gampo Bumi yang luar biasa. Tombak itu tak kelihatan saking cepatnya.
Namun kembali terjadi keajaiban. Anak muda itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bansi yang panjangnya lebih sejengkal itu.

Pletak...!! Trak...! Kedua tombak yang melesat laju itu dia hantam dengan bansinya. Dan dua tombak itu patah empat! Kemudian hal yang luar biasa ialah keempat potong patahan tombak itu melesat lagi ke arah tuannya dengan kecepatan dua kali lipat!
Terdengar seruan kaget penyamun-penyamun itu, termasuk Gampo Bumi meloncat empat depa ke belakang. Hampir saja dia kalah cepat. Peluh dingin membersit di keningnya. Dengan ragu dia menatap pada anak muda yang masih duduk dengan tenang di batu sana.


Anak muda tersebut tegak perlahan. Tubuhnya yang semampai kelihatan kurang meyakinkan atas hal yang baru saja terjadi. Apakah itu memang karena ilmunya yang tinggi atau hanya suatu kebetulan? Anak muda itersebut melangkah di atas batu besar itu. Dia melangkah empat langkah ke depan. Dan semua orang jadi tambah heran, pada saat dia melangkah, terdengar suara giring-giring berbunyi. Semua mata kini menoleh ke kakinya. Namun tak seorangpun yang bicara, anak muda itu angkat suara:

"Adakah di antara kalian yang pernah mengenal atau merasa memiliki giring-giring yang saya pakai ini?" Suaranya bergema perlahan dihutan dalam bukit itu. Tak ada yang menyahut. Dia menanti beberapa saat. Wajahnya kelihatan kecewa ketika tak seorangpun yang menyahut.
"Adakah di antara kalian yang pernah mendengar bahwa ada anak lelaki yang lenyap dengan giring-giring di kaki kanannya?" Datuk Sipasan dapat menangkap nada haru dalam ucapan anak muda ini. Tapi kembali tak seorang pun yang menjawab.
"Tak seorangpun yarg tahu...." desah anak muda itu. Kepalanya tunduk. Tangannya bergerak kembali ke pinggang, menyimpan bansinya. Dan dia melangkah turun ke sebalik sana. Ketika dia hampir lenyap dari pandangan, Datuk Sipasan berseru.
"Anak muda tunggu dulu....!" Anak muda itu berhenti.
"Apakah bapak mengenal giring-giring ini?" tanyanya penuh harap.
Datuk Sipasan menggeleng, dia memanggil anak muda itu hanya dengan harapan agar bisa menolong melepaskan rombongannya dari kekejaman penyamun bukit Tambun Tulang ini.

"Tidak...." katanya perlahan.
Anak muda itu melanjutkan langkahnya lagi. Kepalanya lenyap di balik batu sana.
Datuk Sipasan tahu, bantuan dari orang lain tak mungkin dia harapkan. Kini dia punya kesempatan lagi untuk melawan. Meskipun tangan kanannya patah, tapi dengan cepat dia merampas sebuah kelewang dari tangan penyamun di dekatnya. Kemudian dengan kelewang itu juga dia menyabet leher penyamun itu. Terdengar pekik kesakitan, dan penyamun yang tak menyangka diserang itu melosoh turun tanpa nyawa.
Bukan main berangnya Gampo Bumi melihat hal itu.

"Beruk haram jadah! Kucincang tubuh waang!" bentaknya. Dan dengan sengit ia menerjang maju Rombongan Datuk Sipasan melihat perlawanannya itu kembali timbul semangat. Meskipun sudah hampir separoh dari rombongan mereka yang mati, tapi kini mereka membalas lagi menyerang. Perkelahian kembali berkobar.
Gampo Bumi menerjang Datuk Sipasan, dengan tangan kosong. Terjangan pertama dikibas dengan kelewang oleh Datuk itu. Tapi Gampo Bumi memang bukan lawannya. Begitu pedangnya bergerak untuk menghantam kaki Gampo Bumi, kaki itu ditarik amat cepat. Saat berikutnya kaki kirinya melayang amat tepat. Dan tak ampun, perut Datuk Sipasan kena hantam. Datuk itu tercampak empat depa. Dia muntah darah. Dari barisan belakang terdengar pekik orang meregang nyawa. Salah seorang anggota rombongan Datuk itu mati dihunjam tombak didadanya.
Gampo Bumi mengambil tombak dari anak buahnya.

"Waang harus berkubur di sini beruk!" serunya sambil melemparkan tombak itu pada Datuk Sipasan yang jatuh berlutut sambil muntah darah. Namun saat itu dari batu tadi kembali tedengar bentakkan:
"Berhenti!" Suara itu demikian berwibawanya. Menyebabkan semua orang yang tengah berkelahi itu pada terhenti dan tertegak di tempatnya. Tidak hanya itu, orang itu mengibaskan tangannya. Dan sebuah ranting melayang cepat menyusul tombak yang tengah meluncur ke arah dada Datuk Sipasan. Sejengkal lagi tombak itu menembus dadanya, tiba-tiba ranting tersebut memapahnya di perjalanan.

Tombak itu patah dua, dan mental ke dalam semak!
Bersambung

Kamis, 10 November 2011

giring2 perak 2


Episode 2
Datuk Sipasan

Dewasa itu, hanya orang-orang. yang cari penyakit saja yang mau melewati bukit Tambun Tulang yang terletak di kaki gunung Tandikat itu.
Selama puluhan tahun. Bukit kecil itu menjadi "kerajaan" tak resmi dari suatu kelompok penyamun. Jumlah mereka tak ada yang mengetahui dengan pasti. Ada yang mengatakan hanya enam atau tujuh orang. Tapi kali ini, di saat penghadang-an rombongan, ternyata jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Suatu kekuatan penyamun yang luar biasa. Apalagi semua mereka ahli dalam persilatan.
Dua lelaki yang datang menghadang Datuk Sipasan menerjang sekaligus. Datuk ini nampaknya tak mau buang-buang waktu. Serangan yang datang dari kiri dia elakkan, kakinya bergerak, dan orang itu terjengkang ke belakang. Yang menikam dengan keris dari kanan tiba-tiba dia sambut tangannya. Orang itu kaget, sebab serangannya yang cepat itu bisa disambut oleh Datuk ini. Dia berniat menyentakkan tangannya yang terpegang itu, namun tiba-tiba terdengar pekiknya meraung. Saat berikutnya tubuh penyamun ini melosoh. Mukanya hitam. Dan warna merah ini menjalar ke lengannya. Dia mati sebelum tubuhnya mencecah tanah.
Inilah ilmu "Biso Sipasan " yang menyebabkan Datuk ini dikenal dengan gelar Datuk Sipasan. Ilmu silatnya tinggi dan senjata ampuhnya terletak pada dua kuku tunjuk dan empu jarinya. Dua kukunya ini tidak berwarna hitam seperti jamaknya kuku pesilat-pesilat yang mengandung racun.
Tapi kukunya tetap berwarna biasa. Kalau pesilat-pesilat biasa menggelek atau menangkis serangan dengan menepiskan tangan lawan, maka keistimewaan Datuk ini adalah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya. Tangkapannya tak pernah bisa dilepaskan. Dan begitu tangan lawan tertangkap dia mencekal pergelangan orang tersebut. Kuku ibu jari dan tunjuknya menekan. Dan bisa yang amat ampuh, yang memang di isi dengan bisa seribu sipasan (lipan) segera menyudahi nyawa lawannya.

Dan ilmu ilulah sebentar tadi yang telah menyudahi nyawa seorang penyamun yang menyerangnya. Penyamun yang seorang lagi, yang terjengkang kena tendangan, segera bangkit. Dia mengambil kelewang di pinggang. Kemudian menebaskan ke leher Datuk itu. Datuk ini tidak membuang langkah, dia nanti kelewang itu hingga dekat sekali. Kemudian tiba-tiba dia menunduk. Kelewang lewat serambut di atas kepalanya. Saat berikutnya telunjuk kanannya yang ditegangkan meluncur ke dada penyamun tersebut.

Penyamun itu tertegak kaku. Matanya mendelik. Mulutnya ternganga. Dari mulut yang ternganga itu, keluar suara seperti kerbau disembelih. Dan tiba-tiba dari dadanya, persis di arah jantung merembes darah keluar. Dadanya berlobang sebesar jari Datuk Sipasan. Dan sebelum tubuhnya tumbang, penyamun itu sudah mati!


Sementara itu pertarungan di barisan belakang berlangsung dengan cepat. Dari pihak Datuk Sipasan sudah jatuh korban empat orang meninggal. Para penyamun lalu mendobrak pintu Pedati dengan kaki. Dan suara pekik perempauan segera terdengar.


Pekik perempuan itu menyadarkan Datuk Sipasan, bahwa bahaya tengah mengancam rombongannya. Dia bergerak ke belakang. Tapi gerakannya terhenti ketika tiba-tiba lelaki yang tadi tegak di batu dan menghadang jalannya melompat. Kini kedua lelaki itu berhadapan.


"Hmmm, jari berbisamu lumayan juga sanak. Dua kawanku kau kirim ke akhirat. Tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku."


Datuk Sipasan menatap lelaki ini. Dia tegak dengan tenang. Betapapun kini pertarungan harus dia lanjutkan. Menang atau mati.

Datuk Sipasan, siapa yang tak mengenalnya di Pariaman?. Guru Silat yang disegani oleh lawan dan kawan. Orangnya pendiam, berwibawa dan baik hati tapi punya ilmu yang tinggi. Puluhan tahun dia hidup di kawasan Pariaman, belum ada bertemu lawan yang tangguh. Itulah sebabnya kenapa lebih dari dua puluh keluarga mau ikut bersamanya melintasi Bukit Tambun Tulang untuk pindah ke Luhak Tanah Datar.
Bukit Tambun Tulang! Siapa yang tak kenal akan nama itu?.
Mendengar namanya saja, sudah membikin tegak bulu tengkuk, Dan membikin orang awam terpancar kejambannya. Nama Bukit Tambun Tulang bukan hanya sekedar diseram-seramkan. Tapi memang suatu tempat pembantaian yang tak ada duanya di tanah Minangkabau.


Demikian banyaknya manusia terbunuh di Hutan yang menumbuhi Bukit itu. Hingga kalau orang menggali lobang, di setiap tempat di seluruh Bukit itu, pasti akan bertemu tulang belulang manusia. Begitu dari dulu, bahkan sampai kini. Maka bernamalah dia Bukit Tambun Tulang.

Yaitu suatu nama berasal dari Bukit yang ditimbun tulang belulang!.
Dan kini. Datuk Sipasan yang belum pernah bertemu dengan lawan tangguh itu berhadapan muka dengan pimpinan penyamun yang membuat bukit itu ditimbuni tulang belulang manusia Bukan hanya manusia biasa, tapi juga tulang belu-lang kaum pesilat!

Dua hal akan diuji dalam peraturangan ini. Pertama, apakah Datuk itu memang seorang pesilat tangguh yang jarang tandingannya, atau kedua: Apakah Penyamun di Bukit itu memang penyamun yang tak terkalangkah! Jika hal pertama benar, maka itu berarti hari ini tamatlah riwayat penyamun di Bukit tersebut. Tapi jika hal kedua yang benar, maka itu berarti nyawa Datuk Sipasan dan rombongannyalah yang berakhir!.

Datuk Sipasan yang selama ini belum pernah membuka serangan, kini tak mau anggap enteng. Dia tahu, lawannya sudah tersohor. Siapa tak pernah mendengar nama Harimau Tambun'Tulang? Nama itu adalah nama pimpinan Penyamun di Bukit ini. Dan dia yakin orang yang bernama Harimau Tambun tulang itu pastilah orang yang dihadapinya. Karenanya, dia segera memulai serangan.
Tangannya bergerak mencakar muka penyamun tersebut. Seiring dengan itu kakinya bergerak menghantam dada.
Lelaki yang diserangnya tak bergerak sedikitpun. Cakaran tangannya dielakkan lelaki itu dengan memiringkan kepala. Tendangannya tidak dielakkan. Melainkan disambut oleh lelaki itu
dengan tangan kanan.

Datuk Sipasan membiarkan kakinya tertangkap. Namun begitu -kakinya terpegang dengan kecepatan kilat dia menyusulkan kaki kirinya naik! Bukan main berbahayanya serangan ini. Beberapa orang musuhnya pernah terjebak oleh serangan serupa ini. Dan akibatnya lawannya senantiasa muntah darah.
Tapi Datuk itu memang tengah menghadapi lawan yang tak main-main. Begitu kakinya ter-angkat, lelaki itu justru menyentakkannya kuat-kuat. Serangan begini benar-benar di luar dugaan Datuk Sipasan. Kaki kirinya yang sudah terangkat membuat tubuhnya tak menjejak tanah sedikitpun. Dan begitu kakinya disentakkan, kontan tubuhnya melayang kebelakang.
Namun begitu tubuhnya melewati tubuh lelaki itu, dalam rasa terkejutnya Datuk tersebut masih mengirimkan sebuah serangan berupa tusukan dengan telunjuknya yang berbisa ke arah lambung lawan!
Namun kembali dia dibuat tak berkutik, ketika lelaki itu mengangkat lututnya. Dan tubuhnya yang sedang melayang itu didongkrak ke atas dengan kuat oleh lutut lelaki itu. Tak ampun lagi, terdengan keluhan kesakitan. Dan tubuh Datuk Sipasan tercampak ke samping empat depa!

Datuk itu mencoba bangkit segera. Namun dia merasa rusuknya ngilu. Dia yakin, ada rusuk-nya yang patah. Nafasnya jadi sesak. Dan dia muntah darah! Namun Datuk ini tak mau menyerah. Dia tahu, keselamatan rombongannya berada di tangannya. Dia lebih rela mati duluan, daripada harus melihat rombongannya dihancurkan satu demi satu.
Dia bangkit dengan susah payah. Menghunus keris, kemudian dengan simpanan terakhir, yaitu sebuah jurus silat Siterlak dia lancarkan. Namun lelaki lawannya memang bukan orang sembarangan. Nama penyamun Bukit Tambun Tulang memang bukan nama kosong.

Begitu dia menyerang dengan langkah tiga, menyamping ke kiri, lalu tiba-tiba menghantam dengan kaki kanan. Dan tiba-tiba pula menusukkan keris, lawannya hanya menatap dengan diam. Begitu tendangan dan keris tiba, dia mengkat kaki. Sekali kakinya bergerak, tendangan dan Keris Datuk itu bisa dia elakkan malah kerisnya jadi terpental jauh. Dan tangan Datuk itu berderak patah! Saat itu empat orang lagi rombongannya mati disembelih penyamun tersebut!

Seorang penyamun tinggi kurus, setelah menyudahkan nyawa seorang lelaki, berjalan ke pedati yang tak berpenjaga itu. Tangannya rnenghantam pintu pedati. Di dalam ruangan yang sempit itu gelap. Dia mengintip ke dalam, Tiba-tiba dia terpekik dan menghambur ke luar. Tangan kanannya mendekap pipi. Dan dari pipinya meng-alir darah segar.
Kiranya ketika dia menjulurkan kepala ke dalam pedati itu, seorang perempuan yang dibekali sebuah keris menyerangnya.

"Perempuan jahannam!. Kuberi kau ganjaran yang setimpal atas perbuatanmu ini...." lelaki itu mendesis.
Dia lalu mengambil sepotong kayu sebesar lengan dan panjangnya sedepa. Kayu itu dia kibaskan ke dalam. Dia hayun ke kiri dan ke kanan dalam ruangan peHati yang kecil dan gelap itu. Terdengar pekik perempuan. Dan saat berikutnya lelaki itu melompat masuk.
Begitu dia masuk, seorang gadis yang baru berusia sekitar enam belas tahun melompat keluar.


Bagitu keluar, gadis tanggung ini melihat bangkai ayahnya terkapar berlumur darah dekat roda pedati. Dengan pekik dan lolong panjang dia memeluk ayahnya. Lelaki yang telah melompat masuk itu menghambur lagi keluar.


Dan dia melihat seorang gadis tengah menangisi ayahnya yang baru saja dia bunuh. Gadis itu jolong mekar. Rambutnya ik'al, tubuhnya kuning dan berisi. Pinggulnya besar. Itu kelihatan jelas karena gadis itu bersimpuh dekat mayat ayahnya.
Dan ketika gadis itu menoleh padanya penyamun itu segera melihat wajah si gadis yang cantik. Dadanya baru mekar.
Namun kini dada gadis itu mengombak deras menahan tangis dan berang.

Penyamun jahannam! Busuk! Kubunuh kau" katanya sambil menghambur tegak dengan tangan memegang keris ayahnya yang telah mati.
Dibahagian lain, seorang penyamun yang telah membunuh dua lelaki di dekat pedatinya merang-kak pula masuk pedati. Di dalam terdengar pekik perempuan. Seorang perempuan berusaha .lari keluar. Namun kainnya dipegang lelaki Tersebut. Kainnya lepas. Perempuan itu kini hanya dibalut baju kurung saja. Tubuhnya yang sintal dan hitam manis kelihatan jelas. Lelaki itu tak mau berhenti hingga di sana. Dia menyambar rambut si perempuan. Dan sekali renggut, perempuan itu terlempar lagi ke belakang. Jatuh tertelentang di dalam pedati.

Begitu dia jatuh, begitu tangan penyamun itu tiba di bajunya. Sekali renggut baju kurung itu robek. Perempuan muda itu coba melawan. Namun apalah artinya tenaga perempuannya dibanding penyamun Bukit Tambun Tulang itu. Tubuh lelaki itu segera berada di atas tubuhnya yang tak bertutup. Tangan lelaki itu menjalar. Meremas dan menjalar. Menjalar dan meremas. Ke atas dan ke bawah. Ke bawah meremas. Ke atas meremas.
Perempuan itu meronta. Menggeliat. Meronta menggeliat. Menggeliat dan meronta. Namun lelaki itu tak mengacuhkannya. Mulutnya menjalar ke mana-mana. Kemana-mana. Dan peremuan itu makin menggeliat

Bersambung

Selasa, 08 November 2011

Giring2 Perak


EPISODE I
BUKIT TAMBUN TULANG

PEDATI yang berjalan paling depan tiba-tiba dihentikan. Dua-puluh pedati lainnya yang berjalan di belakang berhenti pula
"Kenapa berhenti?" Seorang lelaki yang ber jalan di sisi pedati yang kesepuluh bertanya pada
teman di depannya.
"Entahlah. " jawab yang ditanya.
Kemudian dia menoleh ke depan, lalu berseru.
"Ahooi, kenapa berhenti di sini?"
Tak ada jawaban. Perempuan-perempuan menyembulkan kepalanya dari dalam pedati tersebut
Seorang lelaki kelihatan berjalan dari depan.
Dan yang di depan ke belakang. Nampaknya ada pesan beranting yang disampaikan.
Dalam waktu singkat, lelaki-lelaki pengiring pedati itu sudah berkumpul di depan sekali. Di dekat pedati Datuk Sipasan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan.
Datuk itu yang bertubuh besar dan kelihalan "berisi", duduk di sebuah batu besar. Dia melemparkan pandangannya pada seluruh lelaki yang kini tegak mengelilinginya. Menatap wajah mereka. Melirik tombak di tangan atau pedang dan keris di pinggang mereka. Mulutnya mengunyah sugi tembakau. Kemudian meludahkannya ke tanah.
"Kalian lihat bukit itu?" katanya tanpa menoleh tapi ibu jarinya dia acungkan ke belakang.
Semua lelaki yang jumlahnya 23 orang itu meng-ibu jari Datuk, ini. Mereka memang melihat sebuah bukit. Dipenuhi hutan belantara. Dan nampaknya kini mereka tengah menuju ke arah bukit tersebut. Beberapa orang mengangguk. Tapi lebih banyak yang diam.
"Itulah Bukit Tambun Tulang." Datuk itu bicara lagi, seperti tak acuh..
Kali ini semua lelaki di depannya pada menoleh kembali ke bukit tersebut. Kalau tadi dengan sikap tak mengerti, atau tak acuh, kini dengan sedikit berdebar. Bahkan ada yang melihat bukit itu dengan sedikit rasa takut.
"Bukit Tambun Tulang?" tanya seseorang dengan nada lemah. Datuk Sipasan tak menyahut. Mengeruk kantong bajunya, mengambil segumpal tembakau. Meremasnya kuat-kuat. Membuat tem-bakau itu mirip kelereng, atau godok kecil. Kemudian menyelipkannya ke mulut, jadi sugi. Lalu dengan sikap hampir-hampir tak acuh dia bicara.
"Tak ada jalan lain. Ini satu-satunya jalan yang terdekat, dan mudah untuk mencapai Luhak Tanah Datar..."
"Terdekat, mudah, tapi belum tentu aman..." seseorang lelaki gemuk memakai Golok di pinggang menyambung ucapan Datuk itu. Semua yang nadir pada menoleh padanya.
"Kenapa pakai kalimat belum tentu aman?" Jalan ini memang paling tidak aman!" Datuk Sipasan menegaskan. Mulutnya berpiuh-piuh memainkan suginya.
"Lalu bagaimana?"
"Kita akan terus!" jawab Datuk Sipasan.
"Apakah di bukit itu masih ada penyamun?" tanya yang bertanya barusan. :
"Ada...!" Datuk itu menjawab pasti. Meski wajahnya tetap saja tak acuh.
"Dari mana Datuk tahu?"
Datuk itu tak menjawab. Tapi menatap orang yang bertanya itu. Kemudian menalap yang lain-lain.Lalu kembali menatap yang bertanya tadi. Kemudian dia tegak dari batu besar di mana dia duduk. Lalu meloncat ke bawah.
"Naiklah ke batu itu..." katanya pada lelaki yang bertanya tadi. Lelaki tadi tak mengerti. Tapi dia naik juga kebatu besar di mana Datuk itu tadi duduk.
"Lihatlah ke belakangmu, di bawah..."
Datuk Sipasan bicara ketika lelaki itu sampai di atas., Lelaki itu menurut. Tiba-tiba terdengar seruannya. Dan saat berikutnya dia terlompat turun dengan wajah pucat.
Yang lain pada berpandangan. Dua orang naik ke atas. Melihat ke bawah. Dan mereka juga pada berseru kaget, kemudian cepat-cepat turun dengan muka pucat.
Beberapa orang naik, melihat ke bawah. Dan hampir semuanya terkejut dan turun dengan muka tak sedap, Di belakang batu besar itu, sesosok jadi mayat terhantar dengan baru saja mati dengan leher hampir putus. Nampaknya baru saja mati sehari dua ini.
Mayat itu tertelentang. Menghadap ke atas, kearah arah orang yang melihat ke bawah dari batu itu. Menatap dengan mata yang mendelik dan mulut menganga mengerikan.
Kini semua pada tertegak kaku di tempat mereka masing-masing.
"Siapa yang ingin kembali, silahkan. Yang ingin terus tapi ingin mencari jalan lain, juga disilahkan. Saya akan terus mengambil jalan yang melintasi Bukit Tambun Tulang ini. Siapa yang ingin ikut, juga disilahkan".
Datuk Sipasan berkata setelah meludahkan tembakau suginya. Ketika dia berhenti bicara, tak seorangpun yang menyahut. Dan dia yakin, semua akan mengikutinya.
"Peringatkan pada semua perempuan, bini atau anak kemenakan kalian, agar tak memperlihatkan diri sejak saat ini. Dan kalaupun terjadi pertempur-an, mereka harus tetap saja dalam pedati. Begitu lebih selamat untuk.mereka".
"Bagaimana kalau kita kalah Datuk?"
"Kekalahan berarti kematian"
"Ya, bagaimana kalau kita kalah kemudian mati?"
"Mereka bisa memilih melawan sampai tetes darah terakhir, atau merelakan diri diperkosa, atau jadi isteri penyamun-penyamun itu".
"Tak ada jalan lain?"
"Ada, yaitu memenangkan perkelahian!" Setelah itu tak ada yang bicara. Sampai saat mereka kembali ke pedati masing-masing mereka tetap diam. Lalu bicara perlahan pada perempuan-perempuan yang ada di pedati.
Kemudian diam-diam mereka mulai medecahkan mulut, menghalau kerbau yang menarik pedati tersebut. Dan kafilah pedati itu mulai mendaki kaki Bukit Tambun Tulang yang terkenal angker dan angkuh. Bau bangkai tercium di mana-mana. Tak ada suara. Bahkan binatang rimbapun seakan ngeri berada di rimba lebat yang menyelimuti Bukit Angker tersebut.
Tiba-tiba ketika mereka mendekati hampir di pinggang bukit kecil itu ada suara murai. Sekali. Dua kali. Kemudian ada suara gagak.
Datuk Sipasan yang berjalan paling depan segera arif. Bunyi itu bukan bunyi burung. Tapi suara manusia yang meniru suara burung dengan sempurna. Dan dia juga arif, bunyi itu adalah semacam isyarat dalam rimba tersebut. Datuk ini tetap menggusurkan sugi di mulutnya dengan tenang. Lelaki-lelaki lainnya, yang mengiringkan pedati mereka menuruti jalan menanjak itu semua pada diam. Mereka memegang hulu golok atau tombak dengan waspada. Perempuan-perempuan pada merapatkan diri di sudut yang paling jauh dalam pedati mereka.

Kini rombongan itu sudah sampai di pinggang Tambun Tulang tersebut. Pedati yang paling depan, yaitu Pedati milik Datuk Sipasan sudah .berbelok di sebuah tikungan.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa bergumam. Barisan yang ada dibelakang menyangka itu tawa Sipasan. Tapi yang ada di depan segera tahu, itu berasal dari dalam pepohonan di Bukit mereka lalui tersebut. Tawa itu mula-mula lunak saja, Tapi makin lama makin keras. Yang tertawa hanya seorang.
Datuk Sipasan tetap mendecahkan kerbaunya untuk maju terus tapak demi tapak. Lelaki. ini punya firasat, sebentar lagi, orang yang tertawa itu pasti akan menampakkan dirinya. Dan dugaan-nya tak jauh meleset.
Begitu tikungan itu hampir habis dia jalani, di depannya, di atas sebuah batu besar, tegak seorang lelaki berbaju hijau-hijau. Begitu lelaki itu kelihatan, tawa tadi lenyap. Dan hutan itu kembali dicekik suasana sepi.
Datuk Sipasan mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan rombongan di belakangnya berhenti. Dia menatap lelaki besar di atas batu itu. Rambutnya tergerai hingga bahu. Sebilah keris tersisip di pinggangnya. Di tangan kirinya dia memakai gelang akar bahar besar. Janggut dan kumisnya bersumburan lebat. Matanya berwarna merah.

Dia menyapu kafilah pedati itu dengan tatapan matanya yang tajam seperti elang kelaparan. Tiba-tiba suaranya terdengar berbegu dalam rimba di pinggang Bukit Tambun Tulang itu:
"Selamat datang di Kerajaan Bukit Tambun Tulang sanak. Silahkan melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan semua harta dan ....wanita".
Datuk Sipasan tak menyahut. Matanya menyi-pit. Lelaki itu berdiri sendiri. Tapi dia tahu, pasti ada puluhan orang lainnya di sekitar mereka. Tapi di mana? Di pohon? Di dalam rimbunnya belukar? Tak satupun yang nampak. Dia meludahkan sugi tembakaunya.

"Kami numpang lalu sanak. Kami tahu, daerah ini di bawah kuasa sanak. Kami bersedia membayar upeti sekedarnya. Mohon kami jangan diganggu". Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan tawa bergumam oleh lelaki besar di atas batu itu.

"Pandai waang membaca puisi sanak? Waang hanya ingin membayar upeti "Sekedarnya?" Aha, di mana puisi itu waang pelajari hingga punya nyali (keberanian) untuk mengucapkannya di Bukit ini? Tidakkah waang tahu siapa. yang tegak di depan waang ini?"

Datuk Sipasan merah padam mukanya disebut "Waang" oleh lelaki itu. Dan semua anggota rombongannya yang tegak dengan waspada di belakangnya mendengar jelas semua pembicaraan ini, Datuk itu masih menahan marahnya. Dia harus berusaha agar tak terjadi perkelahian. Betapapun kalau bisa membayar upeti sekedarnya jauh lebih baik daripada harus bertempur. Karenanya dengan menahan rasa marah karena dipanggil Waang yang jelas-jelas menghina itu, dia bicara :
"Maafkah kami, kami tak mengetahui siapa tuan. Kami hanya mengetahui bahwa Bukit 'ini dihuni oleh penyamun-penyamun..."
Kembali suara tawa menyambut ucapan Datuk
"Nah kalau sudah tahu, bahwa di sini bersarang penyamun, kenapa tak segera berlutut dan menyerahkan yang saya minta?"

"Tak ada yang harus kami berikan. Kami hanyalah rombongan penduduk yang berniat pindah ke Luhak Tanah Datar. Kami datang dari Daerah Pariaman, daerah itu kini sedang diancam oleh Belanda. Apa yang bisa tuan dapati dari penduduk yang pindah karena takut?"

"Hmm, kalian orang yang pindah?" , "Ya..."

"Bagus. Pasti banyak harta dan banyak wanita..." Sehabis berkata begitu lelaki ini berseru sambil bertepuk keras:
"Periksa isi pedati itu?!"
Perintahnya yang mengguntur ini tiba-tiba disahuti pekik yang menyeramkan dari dalam belukar di sepanjang jalan di mana pedati-pedati yang 21 buah itu kini berhenti.

Penyamun-penyamun itu muncul amat tiba-tiba. Ini benar-benar mengagetkan semua lelaki yang menjaga pedati tersebut. Rupanya sejak mereka berhenti dan berunding di bawah tadi, mereka sudah diamat-amati oleh penyamun tersebut. Dan kini mereka berada dalam sebuah jebakan.
Namun Datuk Sipasan berseru:

"Tunggu Saya harap jangan menumpahkan darah. Tuan boleh ambil semua harta kami! Tapi jangan ganggu perempuan-perempuan!!"
Namun lelaki bertubuh besar di atas batu itu berseru:
"Hei beruk! Sekali lagi waang bicara, saya kuyakkan mulut waang yang berbau jering itu!!!" Dan seusai ucapannya ini, panyamun-penyamun Bukit Tambun Tulang yang kesohor pemakan masak mentah itu mulai mendekati pedati-pedati tersebut Tetapi, rombongan ini bukan sembarang rombongan! Mereka adalah kaum pesilat yang menyingkir dari Pariaman seperti yang dikatakan Datuk Sipasan tadi. Mereka menyingkir menyusun kekuatan ingin bergabung dengan pesilat-pesilat di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam untuk balik menyerang Belanda di Pariaman.

Kini begitu penyamun-penyamun itu mendekat, mereka kontan memberikan perlawanan. Datuk Sipasan sebenarnya ingin menyerang lelaki yang tegak di batu itu. Dia yakin lelaki itulah pimpinan penyamun ini. Namun maksud itu terpaksa dia urungkan, karena dia di datangi oleh dua orang penyamun lainnya.

Suara senjata beradu terdengar gemerincing. Pekik-pekik kesakitan atau suara orang meregang nyawa terdengar berbaur dengan bentakan-bentakan.
Bersambung

Sigiring2 Perak (Kata Pengantar)


Cerber Makmur Hendrik : Giring Giring Perak



GIRING-GIRING PERAK ini novel Namun beberapa fakta coba diungkapkan di dalam-nya. Antara lain adalah tentang kekejaman Kompeni, tentang kebangkitan orang-orang Minangkabau melawan penjajahan. Sayangnya perlawanan itu tidak terkoordinir. Karena orang-orang Minang sendiri terpecah dalam puluhan puak yang sating bermusuhan demi kepentingan masing-masing. Dengan demikian, Belanda dengan mudah meng-hancurkan perlawanan yang datangnya dari kelom-pok-kelompok kecil itu.Kemudian juga tentang kekejaman para perampok di Bukit Tambun Tulang. Bahwa di sana suatu saat dahulu mereka menjadikan bukit itu sebagai suatu kerajaan hukum rimba yang menakutkan. Namun betapapun jahatnya mereka, jauh di dalam hatinya, mereka ternyata juga anti pada penjajah!Bukit Tambun Tulang dalam cerita ini adalah yang terletak antara Pariaman dan Padang Panjang. Sebab dalam legende Minangkabau ada beberapa buah yang bernama Bukit Tambun Tulang.Di Bukit itu, nyawa anjing lebih berharga ketimbang nyawa manusia. Dan dalam cerita ini barangkali dapat diketahui sedikit tentang aliran dan asal usul pencaksilat di Minangkabau. Semua nya ditulis dari bahan-bahan dokumentasi/kepusta-kaan yang jauh dari memadai.Sudah tentu saya dengan lapang dada akan menerima tiap tegur sapa jika terdapat kekurangan dan kejanggalan.PENULIS